Gereja Santa Maria Assunta, Kamis sore, 27 Oktober 2011.
Sebuah balon raksasa bernomor 58 dilepas ke udara. Lagu rock “Siamo Solo Noi (Cuma Kita)” berdentam-dentam. Valentino Rossi dan ribuan pelayat yang menyemut di pekarangan gereja mungil di kota Coriano, Italia itu, bertepuk tangan, sembari menahan haru. Peti jenazah pembalap MotoGP Marco Simoncelli diusung keluar, lalu diletakkan di pekarangan gereja.
Di belakangnya, selain Rossi, sederet bintang MotoGP turut mengiringi: Loris Capirossi, Jorge Lorenzo, Andrea Dovizioso, Hiroshi Aoyama, Mattia Pasini dan Raffaele de Rosa. Tampak juga legenda balap Italia Giacomo Agostini, yang tak henti mengusap air mata. Mereka berjalan di samping dua sepeda motor balap kesayangan “si kribo”--Gilera yang digunakan Simoncelli saat menjadi juara dunia kelas 250cc pada 2008 dan Honda RC212V yang ditungganginya di kelas MotoGP.
Simoncelli tewas di Grand Prix Malaysia, Minggu lalu, 23 Oktober 2011. Malaikat maut berkelebat menghampirinya ketika pembalap bengal ini berupaya menikung tajam ke kanan—sampai-sampai siku kanannya mengenai aspal--di turn-11 Sirkuit Sepang dengan kecepatan tinggi.
Maut tak dapat ditolak. Kondisi ban yang belum cukup panas membuat Simoncelli hilang kendali dan terjatuh persis di jalur Colin Edwards dan Valentino Rossi; yang sedang melesat kencang di belakangnya. Kecelakaan hebat pun tak terhindarkan. Simoncelli tertabrak Edwards dan Rossi—yang menganggap dia sebagai adik kandungnya sendiri. Saking kerasnya tabrakan, helm Simoncelli sampai terlepas.
Bendera merah dikibarkan. Balapan distop.
Tepat pukul 16.56 waktu setempat, Simoncelli dinyatakan meninggal. Dia dideteksi menderita luka hebat di bagian kepala, leher, dan dada. Usia pemuda kelahiran Cattolica di timur Italia ini belum lagi genap 25 tahun.
Maut kesekian
Tragedi yang menimpa Simoncelli hanyalah satu dari puluhan lainnya di dunia balap. Tahun lalu, tepatnya 5 September 2010, pembalap Moto2--kelas di bawah MotoGP--asal Jepang, Shoya Tomizawa, tewas dengan cara yang hampir sama seperti Simoncelli.
Pada lap ke-12 Grand Prix San Marino di Sirkuit Misano, Tomizawa kehilangan kendali saat melewati tikungan Curvone. Jatuh di tengah lintasan, pembalap tim Suter itu tertabrak dua pembalap di belakangnya, Scott Reading dan Alex de Angelis.
Tomizawa--malah baru berumur 19 tahun ketika itu--sempat diterbangkan ke rumah sakit di Riccione, Italia. Namun, nyawanya tak tertolong. Tomizawa dinyatakan meninggal akibat luka di bagian kepala, dada, dan perut.
Di kelas MotoGP, kecelakaan fatal terakhir sebelum Simoncelli, terjadi di MotoGP Jepang di Sirkuit Suzuka pada 6 April 2003. Adalah pembalap tuan rumah Daijiro Kato yang kehilangan nyawa. Kato menabrak dinding sirkuit saat berusaha melewati tikungan Casio dengan kecepatan 200 km/jam.
Kato sempat koma selama dua pekan. Namun, jiwanya tak terselamatkan karena luka teramat parah di bagian leher, kepala, dan dada. Kato adalah juga pembalap Gresini Honda, tim yang dibela Simoncelli.
Di arena balap mobil, maut berkelebat sepekan sebelum Simoncelli tewas. Pembalap IndyCar asal Inggris, Dan Wheldon, meninggal di Sirkuit Las Vegas Motor Speedway. Juara IndyCar 2005 itu tewas setelah mobil yang dikendarainya melayang, menabrak tembok pembatas, terbakar, dan hancur berkeping-keping.
Maut di F1
Maut juga kerap bergentayangan di area balap Formula One (F1). Yang terkelam dalam sejarah F1, boleh jadi adalah malapetaka di GP San Marino 1994. Di arena ini, dua pembalap tewas berturut-turut dalam dua hari.
Pada babak kualifikasi di Sirkuit Imola, 30 April 1994, pembalap Simtek Ford, Roland Ratzenberger, mengalami kecelakaan hebat di Villeneuve Corner. Pembalap asal Austria itu gagal membelok dengan sempurna dan menabrak tembok sirkuit dalam kecepatan 314 km/jam. Ratzenberger meninggal dengan luka hebat di tengkorak kepala.
Di saat duka masih menyelimuti GP San Marino, sehari kemudian Sirkuit Imola kembali memakan korban. Kali ini, giliran juara dunia F1 tiga kali asal Brasil, Ayrton Senna, yang harus melepas nyawa.
Senna menabrak tembok dalam kecepatan 217 km/jam setelah gagal membelok di Tamburello Corner. Ajaib, dia tak langsung tewas. Ketika diperiksa Kepala Medis Federasi Otomotif Internasional (FIA), Sid Witkins, yang sampai dua menit kemudian di lokasi kecelakaan, jantung legenda F1 ini masih berdetak lemah.
Senna diterbangkan ke Rumah Sakit Maggiore, Bologna, Italia. Namun, karena kehilangan banyak darah, sejam kemudian dia dinyatakan meninggal.
Kematian Senna menjadi semakin tragis karena tim medis menemukan bendera Austria di dalam mobil balapnya. Usut punya usut, Senna sudah berencana memancangkan bendera tersebut usai balapan di San Marino, demi menghormati kepergian Ratzenberger.
Witkins sempat membujuk Senna untuk menarik diri dari balapan setelah kecelakaan maut yang menewaskan Ratzenberger. Namun, imbauan itu langsung dia tolak.
Sebelum balapan yang merenggut nyawanya berlangsung, Senna sempat menghampiri sejumlah koleganya yang tergabung dalam Asosiasi Pembalap Grand Prix. Dia meyakinkan mereka untuk mendesak FIA meningkatkan standar keselamatan.
Menangani maut
Tewasnya Simoncelli kembali membuat standar keselamatan dan penanganan kecelakaan di arena balap, jadi sorotan. Cara tim marshall dan petugas medis Sirkuit Sepang melakukan pertolongan pertama terhadap Simoncelli dikecam.
Jarak mobil ambulans dengan lokasi kecelakaan dinilai terlalu jauh. Sampai-sampai, tim paramedis harus melompati pagar yang cukup tinggi sebelum dapat mencapai ambulans. Simoncelli bahkan terguling jatuh saat ditandu ke mobil ambulans.
Tragisnya insiden itu terjadi di depan mata ayah Simoncelli, Paolo, yang langsung mendatangi lokasi kejadian. Meski begitu, Paolo tidak menyalahkan petugas. Dia menganggap putra kebanggaannya itu sudah tewas seketika.
"Saya berada di sana, 10 meter dari Marco. Dia sudah meninggal. Insiden itu (terjatuh saat ditandu) tidak mengubah situasi. Saya menggoyangkan tangannya, memanggilnya, tapi dia sudah tiada. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Marco tewas di tempat," ujar Paolo, pasrah, seperti dilansir virgilio.it.
Kritik juga mengemuka soal penanganan terhadap Daijiro Kato setelah ia mengalami kecelakaan di Sirkuit Suzuka. Menurut peraturan, jika terjadi kecelakaan berat, bendera merah harus segera dikibarkan dan balapan dihentikan. Namun, ketika itu yang dikibarkan hanya bendera kuning. Balapan terus berlangsung hingga usai. Kato yang tergeletak di tengah trek diangkat tim medis ke mobil ambulans, di tengah deru balapan.
Komite investigasi menyatakan petugas tidak menangani Kato dengan prosedur yang benar. Tim medis memindahkan tubuh Kato ke tandu dengan kasar hingga kepalanya terbentur dan memperparah cedera di bagian leher dan kepala. Sejak itu, Suzuka tidak pernah lagi dipilih menjadi tuan rumah seri MotoGP karena dianggap tak cukup aman.
Penanganan darurat terhadap Tomizawa juga sempat dikecam, lagi-lagi karena balapan tak langsung dihentikan setelah terjadi kecelakaan. Seperti halnya Simoncelli, Tomizawa pun terjatuh dari tandu petugas medis.
Aparat Italia bahkan sempat menggelar investigasi untuk mencari tahu adanya unsur kesengajaan dalam kematian Tomizawa. Namun, penyelidikan akhirnya dihentikan menyusul terungkapnya fakta bahwa Tomizawa langsung meninggal di tempat.
Kematian Ayrton Senna malah berakhir di pengadilan. Pasalnya, dari hasil investigasi, pengadilan Italia memutuskan kecelakaan Senna disebabkan kegagalan kemudi yang berkait dengan buruknya desain dan modifikasi mobil.
Alhasil, Direktur Teknik Williams-Renault saat itu, Patrick Head, dinyatakan bertanggung jawab atas kematian Senna. Namun, Head tidak ditahan karena menurut hukum Italia, dakwaan pembunuhan tak terencana hanya berlaku tujuh tahun setelah kejadian. Sementara itu, vonis baru diketuk palu pada 13 April 2007, 13 tahun setelah nyawa Senna lepas dari raganya.